DALAM rangka Hari Koperasi, 12 Juli 2015, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menyelenggarakan sebuah Seminar Nasional pada 11 Juli 2015 di Kupang, dengan tema “Kajian Visi 2045: Koperasi Pilar Negara.” Dan, saya salah satu pembicaranya. Visi itu sudah menjadi kajian akademis Dewan Koperasi Indonesia dalam sebuah buku berjudul “Koperasi Pilar Negara”, dengan anak judul “Membangun Karakter Bangsa, Mewujudkan Negara Kesejahteraan dan Lestarinya Ekosistem NKRI,”  dengan prolog dan epilog oleh Ketua Dekopin, H.A.M Nurdin Halid.

Menurut saya, buku ini sangat menarik karena memperkenalkan sebuah paradigma dan pendekatan baru tentang koperasi, yakni koperasi dikaji dalam kerangka ekonomi politik liberalisme dan sosialisme. Berkaitan dengan itu, berikut ini saya memberikan satu dua catatan dari kerangka demokrasi, karena memang demokrasi menjadi faham kunci di dalam buku ini.

Demokrasi Ekonomi

Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, mengatakan bahwa “koperasi adalah sekolah demokrasi. Dalam berkoperasi masyarakat tidak hanya berupaya meningkatkan kesejahteraan secara bersama, tetapi juga terbiasa mempraktekkan demokrasi”. Meski di sini koperasi dihubungkan dengan demokrasi, namun ucapan ini tidak mengungkapkan gagasan tentang “demokrasi ekonomi”.

Ucapan itu hanya menggambarkan bahwa segala keputusan dalam koperasi diambil secara musyawarah, dan kalau ada “votting” maka berlaku prinsip “one man one vote” (satu orang satu suara), yang berbeda sekali dengan prinsip dalam kapitalisme, “one share one vote” (satu saham satu suara). Dalam kapitalisme, besar-kecilnya saham menentukan besar-kecilnya suara. Sedangkan dalam koperasi setiap orang, berapapun besar sahamnya, tetap hanya satu suara.

Sedangkan “demokrasi ekonomi” adalah gagasan kunci mengenai ekonomi politik kita sebagaimana termuat di dalam pasal 33 UUD Tahun 1945, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; dan hanya menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; sedangkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari kacamata ekonomi politik, demokrasi ekonomi itu mengandung dua prinsip, yakni partisipasi ekonomi dan emansipasi ekonomi. Itu artinya, kedaulatan pasar sebagaimana dianut oleh kapitalisme diganti dengan kedaulatan rakyat, yang dalam konkretisasinya adalah lembaga usaha berbentuk koperasi. Kemudian berdasarkan itu atau sejalan dengan itu, demokrasi ekonomi itu juga berarti membebaskan rakyat dari eksploitasi, diskriminasi, dan cengkeraman sistem ekonomi kapitalistik.

 

 

 

Demokrasi Politik

Berkaitan dengan itu, perlu kita selalu ingat bahwa istilah “demokrasi ekonomi” yang diintroduksi oleh Hatta ke dalam konstitusi kita, pasal 33, tidak ditemukan di dalam kamus ilmu ekonomi. Atas dasar itu, demokrasi ekonomi itu hanya bisa terlaksana atau bisa mencapai tujuannya yakni kemakmuran seluruh rakyat manakala ada “demokrasi politik”. Tanpa demokrasi politik, yakni tanpa adanya kekuasaan dan kontrol dari seluruh rakyat atas pembangunan ekonomi, maka ekonomi kita tetap dikuasai atau menjadi milik segelintir kaum kapitalis, yang pada era Orde Baru dulu membuahkan apa yang disebut konglomerat.

Jadi, demokrasi ekonomi seperti dimaksudkan oleh pasal 33 itu mengandaikan demokrasi politik. Monopoli tak sehat dalam kekuasaan ekonomi, atau menurut istilah Mohammad Hatta, “konsentrasi ekonomi”, hanya dapat dicegah kalau tak ada monopoli tak sehat dalam kekuasaan politik. Mengapa? Karena aktivitas ekonomi itu berada dalam apa yang disebut dalam demokrasi politik “political will” sang pembuat kebijakan. Kalau kehendak politiknya sudah dibeli oleh kaum bermodal maka jelas kebijakan ekonomi apapun bentuknya tentang pemberdayaan ekonomi rakyat, tetap hanya memberi manfaat bagi kaum kapitalis.

Karena itu, demokrasi ekonomi hanya bisa dijalankan dan baru mencapai tujuannya yakni kemakmuran seluruh rakyat, kalau ada demokrasi politik. Karena, hanya melalui demokrasi politik, rakyat dapat ikut ambil dalam pembentukan kehendak politik sang penguasa. Dengan demikian secara perlahan dominasi kepentingan borjuasi kapitalis dapat dipatahkan sehingga bisa muncul apa yang diamanatkan oleh konstitusi pasal 33 itu, yakni tatanan sosial-ekonomi yang menjamin sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

Koperasi dan Politik

Dalam kerangka pemikiran bahwa demokrasi ekonomi mengandaikan demokrasi politik, maka di sini kita perlu juga melihat hubungan koperasi dan politik. Apakah ada hubungan antara koperasi dan politik? Jawaban, ya ada hubungan, dan hubungannya erat.

Istilah “politik” di sini mengandung tiga arti yang agak berbeda, yang dalam bahasa Inggris lebih jelas karena diungkapkan dalam tiga term yang berbeda, yakni “policy”, “politics,” dan “polity”: (1) “Policy,” menunjuk pada politik dalam arti yang paling luas, yakni tindakan publik di segala bidang dan mencakup arah dan sasaran program politik. Para aktor politik bukan saja para politisi dan aparat negara melainkan juga beraneka organisasi dalam masyarakat. (2) “Politics”, memaksudkan tindakan publik para aktor politik dalam arti yang sempit, seperti politisi, partai dan aparat negara. Istilah ini meliputi perjuangan meraih kekuasaan politik, politik partai dan kepentingan. (3) “Polity,” menunjuk pada susbsistem politik, yaitu bidang kenegaraan dan tatasusunan politik. Politik dalam arti ini berkaitan dengan kerangka tata institusional beserta struktur, mekanisme, dan aturan permainannya.

Koperasi adalah sebuah politik, dalam arti sebuah “policy”, berarti sebuah kebijakan untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Sebagai kebijakan atau program pembangunan ekonomi rakyat maka dilaksanakan oleh pemerintah (“polity”). Akan tetapi, koperasi juga adalah sebuah politik dalam arti “politics”. Itu berarti, koperasi dijadikan kebijakan yang ada kaitan dengan kekuasaan atau pelanggengan kekuasan atau perebutan kekuasaan.

Pada umumnya, hubungan antara koperasi dan politik dalam pengertian yang ketiga inilah yang selalu bermasalah, karena koperasi atau pencanangan koperasi hanyalah alat kekuasaan atau sarana untuk meraih kekuasaan. Begitu kekuasaan sudah diraih, maka koperasi entah itu namanya “negara koperasi”, “provinsi koperasi”, atau “kabupaten koperasi” dibiarkan tinggal menjadi sebuah nama. Karena itu, kita kembali kepada tesis di atas bahwa demokrasi ekonomi hanya bisa dicapai manakala ada demokrasi politik. Jadi, pembentukan “political will” penguasa dalam bidang koperasi tidak bisa dibiarkan begitu saja melainkan selalu dikontrol dan dinilai oleh masyarakat demi tidak menjadi sebatas tekad melainkan harus bisa menjadi kenyataan. *

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *