
Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia Dr. (Hc). Drs. H.A.M Nurdin Halid (kanan bawah) tampil sebagai pembicara bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dr. Sandiaga Uno (kiri bawah), serta Rektor Universitas Negeri Makassar Prof. Dr. Ir. H. Husain Syam (kiri atas) dalam Webinar Kewirausahaan untuk memperingati Dies Natalis UNM, Minggu (29/8/2021). Foto: istimewa.
JAKARTA, dekopin.co – Indonesia harus mempercepat dan memperbesar jumlah wirausaha unggul berbudaya digital untuk bisa menjadi bangsa yang produktif, inovatif, dan maju. Jumlah wirausaha unggul berbasis teknologi digital akan memampukan Indonesia bertahan dan bersaing di tengah era perubahan global yang dahsyat akibat revolusi industri 4.0 dan dampak luas dari pandemi Covid-19.
“Sedahsyat apa pun perubahan yang akan melanda dunia, ada satu kebutuhaan paling penting bagi sebuah bangsa, yaitu menjadi bangsa yang produktif. Berbicara bangsa produktif berarti berbicara generasi wirausahawan bangsa yang kreatif dan inovatif. Jadi, jumlah dan mutu SDM berjiwa wirausaha menjadi kunci pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan inovasi yang berujung pada kesejahteraan dan daya saing negara,” ungkap Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia Dr. (HC). Drs. H.A.M Nurdin Halid dalam webinar nasional dalam rangka Dies Natalis Universitas Negeri Makassar ke-60, Minggu (29/8/2021).
Selain Nurdin Halid, seminar nasional bertema “Implementasi Entrepreneurship Untuk Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Mandiri pada Era Digital” menghadirkan pembicara lain, yaitu Rektor UNM, Prof. Dr. Ir. H. Husain Syam, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Dr. H. Sandiaga Salahuddin Uno, dan Wakil Rektor Bidang Akademik UNM, Prof. Dr. H. Hasnawi Haris.
Dalam pemaparannya, Nurdin Halid menegaskan, semua negara maju adalah negara yang produktif dan inovatif, bukan konsumtif. Menurut Dirut Puskud Hasanuddin periode 1992-1997 itu, sejarah bangsa Indonesia identik dengan sejarah bangsa konsumtif berdaya saing rendah.
Nurdin Halid mengutip Laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2019 yang menunjukkan bahwa daya saing Indonesia berada di posisi ke-50 dari 141 negara. Tingkat daya saing ini berkorelasi dengan peringkat pendidikan Indonesia, yaitu peringkat 55 di dunia dan ke-4 di ASEAN. Hal ini pun sejalan dengan peringkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang berada di angka 74,4% dan menempati posisi ke-5 dari 10 negara ASEAN.
“Jika kita ingin eksis dan bisa melangkah maju, pilihannya ialah segera bertransformasi dari menjadi bangsa konsumtif yang gemar impor menjadi bangsa produktif berbasis inovasi dan berbudaya digital. Caranya, mencetak sebanyak-banyaknya wirausahawan bermutu yang memiliki kecakapan teknologi dan budaya digital,” ujar Nurdin Halid yang juga Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Negeri Makassar (IKA UNM).
Menurut laporan Global Entrepreneuship Index 2018 yang dirilis oleh The Global Entrepreneurship Development Institute (GEDI), tingkat entrepreneurship Indonesia masih menempati peringkat ke-94 dari 137 negara. Menurut GEDI, entrepreneurship berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja yang bermuara pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara dan terciptanya masyarakat sejahtera serta stabilitas di sebuah negara.
Selain masih rendahnya tingkat entrepreneurship, fakta lain per Januari 2021 mengungkapkan bahwa dari 202, 6 juta pengguna internet di Indonesia dengan jumlah pemakai smartphone 167 juta orang, justru 85% dari mereka hanya untuk bermedia sosial. Yang memprihatinkan lagi, laporan Digital Civility Index yang dirilis Microsoft akhir Februari 2021, Indonesia menempati posisi paling rendah dari aspek tingkat kesopanan pengguna internet.
“Jadi, selain mencetak para lulusan berjiwa entrepreneurship, lembaga pendidikan hari ini juga ‘berkewajiban’ menghasilkan para lulusan yang memiliki kecakapan dan budaya digital. Era digital adalah realitas kehidupan masa kini dan masa depan. Dengan demikian, setiap wirausaha harus sigap berselancar dalam dunia serba digital secara produktif,” kata Nurdin Halid.
Transformasi dan Inovasi
Nurdin Halid memaparkan bahwa untuk berubah menjadi bangsa produktif, strategi besarnya ialah dengan melakukan transformasi secara struktural dan kultural berbasis kewirausahaan dan teknologi digital. Dikatakan, transformasi akan terjadi, jika didukung oleh infrastruktur dan sumber daya manusia bermutu yang kreatif, inovatif, dan adaptif dengan kemajuan.
“Saya melihat pemerintahan Jokowi sedang dan terus berjuang keras untuk melakukan transformasi struktural maupun kultural tersebut. Ini dimulai dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran di berbagai sektor, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, kelautan, pertambangan, hingga transportasi yang disebut tol laut, tol darat, dan tol langit itu,” ujar Nurdin.
Langkah selanjutnya, Pemerintah melakukan transformasi struktural terutama di bidang ekonomi dengan mempercepat pemberdayaan UMKM agar ‘naik kelas’ sehingga ketimpangan struktur ekonomi nasional lebih proporsional. Saat ini, perekonomian nasional didominasi 99,9% oleh UMKM yang menyerap 117 juta pekerja atau 97% dari daya serap tenaga kerja dengan kontribusi 61,1% terhadap PDB. Dari 99,9% pelaku UMKM tersebut, sebanyak 98,68% adalah usaha mikro dengan kontribusi hanya 37,8% terhadap PDB.
“Pembangunan infrastruktur dasar dan UU Cipta Kerja adalah strategi pemerintah, salah satunya untuk menaikkan level UMKM dan koperasi. Pemberdayaan UMKM terutama melalui skema pembiayaan KUR dan LPDB serta digitalisasi pemasaran produk UMKM. Hingga Agustus 2021, Kemenkop dan UKM mencatat sudah hampir 15 juta UMKM masuk ke dunia digital,” Nurdin Halid menjelaskan.
Langkah penting ketiga ialah transformasi pendidikan dan kultural terutama melalui Program Unggulan ‘Merdeka Belajar Kamupus Merdeka’ Kemendikbud Ristek dan Gerakan nasional literasi digital, digital talent, dan digitalisasi manajemen dan administrasi pemerintahan. “Konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka untuk mempersiapkan anak-anak dan generasi muda produktif inovatif agar menjadi ujung tombak transformasi bangsa 3, 5, 10 tahun ke depan,” kata Nurdin.
Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan jangka pendek, transformasi budaya digital digalakkan oleh Pemerintah melalui Kemenkominfo berupa Gerakan nasional literasi digital dengan target 12,5 juta hingga tahun 2024, Digital Talent Scholarship sebanyak 100 ribu setahun, penyediaan layanan internet di 12.500 desa/kelurahan serta di titik-titik layanan publik, terutama di daerah 3T yaitu daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar.
Masa pandemi Covid-19, kata Nurdin Halid, terbukti telah mempercepat budaya digital. Sebab, 80% aktivitas masyarakat kita di masa pandemi dilakukan di dunia digital. “Itu karena handphone di tangan kita terbukti sangat powerfull untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia digital seperti untuk berkomunikasi, berdiskusi, sumber data dan informasi, belajar banyak hal, riset, promosi dan marketing produk, dan berbagai aktivitas lain,” ujar Nurdin Halid.
Lima Area Transformasi Strategis
Pertanyaan pokok yang menjadi masalah dan harus dijawab ialah: bagaimana bangsa kita menyiapkan sebanyak-banyaknya wirausaha unggul berbasis inovasi dan berbudaya digital sebagai tulang punggung bangsa yang produktif? Dalam makalahnya, Nurdin Halid menyebut lima area strategis yang potensial dan mendesak untuk transformasi SDM wirausaha produktif dan kreatif inovatif.
Pertama, transformasi lembaga pendidikan
Sekolah dan perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka (tempat persemaian) generasi penerus bangsa, mulai dari level siswa hingga mahasiswa. “Lembaga pendidikanlah tempat paling tepat dan paling cocok untuk mencetak generasi generasi wirausaha yang produktif, inovatif, berkecakapan dan berbudaya digital,” kata Nurdin Halid.
Nurdin Halid mencontohkan bagaimana di negara-negara maju, banyak pebisnis yang lahir dari lingkungan kampus. Contohnya, Yahoo! Inc., Google, Facebook, FedEx adalah bisnis yang lahir dari kampus. Kampus-kampus Indonesia yang sukses mencetak beberapa startup besar dan sukses antara lain Bukalapak oleh Achmad Zacky dkk (ITB). William Tanuwijaya (Universitas Binus) membangun Tokopedia. Dari UI, ada Natali Ardianto (CEO Tiket.com), Diajeng Lestari (CEO HijUp), dan Iman Usman (Chief of Product ruangguru.com).
“Karakter yang menjadi ciri pengusaha atau wirausahawan ialah mandiri, berorientasi profit, tekad kuat, tekun dan kerja keras, punya visi dan misi ke masa depan, kreatif, inovatif, fleksibel, memiliki iniatif dan berani mengambil risiko, dan ingin terus belajar. Semua itu tidak didapat di sekolah dan bangku kuliah, tetapi terlahir dan terasah di lapangan, di dunia nyata,” kata Nurdin.
Ia menilai, jalan untuk mencetak para wirausahawan unggul dan mandiri sudah dibuka oleh Pemerintah melalui Program ‘Merdeka Belajar Kampus Merdeka’. Itu artinya, sekolah menengah atas mulai belajar menjadi entrepreneurial school dan kampus-kampus bertransformasi menjadi entrepreneurial university.
Intinya, mutu sekolah dan guru, kampus dan dosen menjadi episentrum kualitas lulusan. Sistem evaluasi ujian nasional dikembalikan ke sekolah (guru). Kampus boleh membuat Prodi khusus sesuai tuntutan kebutuhan. Teori di ruang kuliah harus dipraktekkan selama dua atau tiga semester di lapangan. Sekolah-sekolah dan kampus-kampus jangan lagi mencetak lulusan bermental ‘pegawai’, bermental karyawan. Lembaga pendidikan harus menjadi yang terdepan dalam mencetak para wirausaha inovatif, produktif, dan mandiri.
“Untuk menghasilkan peserta didik berjiwa kewirausahaan dengan kecakapan teknologi digital, maka konsekuensinya harus mengubah secara menyeluruh dan drastis kurikulum, metode mengajar, sistem evaluasi, model pelatihan atau praktek, dan seterusnya. Zaman sudah berubah. Tuntutan kebutuhan pun sudah berubah. Semua berubah,” ujar Nurdin.
Kedua, inovasi dan digitalisasi seluas-luasnya di semua sektor
Menurut Nurdin Halid, mencetak sumber daya manusia bermutu dalam dinamika perubahan yang cepat dan tidak terpola, jawaban terbaik ialah inovasi yang terus berproses secara bermutu antara peran kampus (knowledge power) dan dunia nyata (learning by doing). Dalam hal inovasi, Indonesia tergolong lemah. Nurdin mengutip Global Innovation Index tahun 2020 yang menunjukkan, Indonesia berada di rangking ke-85 dari 131 ekonomi negara di dunia.
“Memperhebat inovasi menjadi tantangan bagi dunia kampus. Konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka harus menjadi pemicu bagi kampus-kampus untuk berbenah dan mencari cara bagaimana membekali mahasiswa dengan inovasi dan penguasaan teknologi digital,” kata Nurdin. Dia menambahkan, salah satu peluang yang ditawarkan Mendikbud Ristek ialah bantuan dana hingga ratusan miliar rupiah bagi perguruan tinggi vokasi yang membangun startup.
Di sisi lain, inovasi dan kecakapan digital harus merambah semua sektor. Dalam agenda transformasi digital nasional, Pemerintah meningkatkan kapabilitas digital 10 sektor prioritas: transportasi dan pariwisata digital, perdagangan digital, jasa keuangan digital, media dan hiburan digital, pertanian dan perikanan digital, real estate dan perkotaan digital, pendidikan digital, kesehatan digital, digitalisasi perindustrian, serta digitalisasi pemerintahan elektronik.
Nurdin Halid menyebut, salah satu sektor yang penting dan menarik untuk percepatan penerapan inovasi dan digitalisasi ialah sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Dalilnya bahwa Indonesia memiliki ribuan destinasi wisata alam dan budaya yang bisa menjadi pusat pertumbuhan sosial ekonomi secara merata di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan Pemerintah menjadikan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menetapkan 10 destinasi prioritas dan 5 super-prioritas.
Untuk itu, perlu ada grand-design bagaimana produk UMKM-UMKM di daerah-daerah penyangga pariwisata bisa diandalkan sebagai penyuplai berbagai kebutuhan wisatawan sehingga pengembangan destinasi wisata memberikan impact luas bagi kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar daerah wisata.
“Komunitas UMKM yang penting diberdayakan ialah petani, peternak, pekebun, petambak, nelayan, pengrajin, penenun, pedagang, usaha kuliner, dan pemandu wisata. Untuk mewujutkan hal itu, Kemenpar dan Ekonomi Kreatif bisa menjadi leading sector yang mengintegrasikan berbagai program dari sejumlah kementerian/lembaga dan dinas-dinas terkait,” demikian Nurdin.
Ketiga, mutu SDM UMKM dan koperasi harus menjadi prioritas
Indonesia sesungguhnya memiliki ‘ladang’ luas untuk melipatgandakan wirausaha mandiri dan produktif. Sebab, 99,9% pelaku usaha di negeri ini justru terdiri dari para pengusaha ekonomi berskala mikro, kecil, dan menengah seperti petani, nelayan, pekebun, pengrajin, penenun, pedagang, dan lain-lain. Jadi, upaya meningkatkan kapabilitas mereka justru menjadi kunci untuk melakukan transformasi struktural perekonomian negara yang saat ini pincang, di mana pelaku usaha berskala besar dan raksasa hanya 1,01%.
“Hanya saja, Pemerintah tidak memanfaatkan secara baik dan optimal fungsi dan peran koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat. Usaha meningkatkan kapabilitas UMKM akan relatif mudah jika UMKM-UMKM dihimpun dan digerakkan oleh manajemen koperasi, terutama dalam memanfaatkan berbagai program pemberdayaan dan bantuan peralatan dari Pemerintah pusat dan Pemda maupun badan usaha non koperasi,” kata Nurdin.
Nurdin mempertanyakan, mengapa Pemerintah menggulirkan program korporatisasi sektor pertanian, bukan koperasisasi pertanian? Sejarah membuktikan bahwa Indonesia pernah mencapai swasembada pangan, khususnya beras, di tahun 1980-an berkat kerja-kerja Koperasi Unit Desa (KUD) yang didukung penuh oleh Pemerintah masa itu.
Saat ini, masih ada sekitar 4.000 KUD yang masih hidup, meski banyak yang berubah menjadi koperasi serba usaha. “KUD itu modal besar bernilai sejarah yang seharusnya diberdayakan lagi oleh Pemerintah. Negara memiliki berbagai sumberdaya untuk mengangkat kembali peran strategis KUD untuk menyejahterakan petani, petambak, pekebun, dan nelayan-nelayan kita. Kalau dulu bisa, mengapa sekarang tidak bisa,” demikian Nurdin.
Keempat, potensi besar lulusan pendidikan vokasi
Nurdin juga menyebut lembaga pendidikan ketrampilan atau vokasi seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), politeknik, dan Balai Latihan Kerja (BLK) berperan strategis dalam menciptakan banyak lulusan berjiwa wirausaha dan berbudaya digital. Jurusan pendidikan vokasi juga beragam sehingga sangat potensial untuk mengembangkan ekonomi kreatif di berbagai sektor.
“SMK, politeknik, dan BLK itu adalah tempat persemaian wirausaha yang strategis karena tamatan SMK memiliki ketrampilan khusus yang siap terjun ke dunia kerja. Jumlahnya pun sangat besar. Tinggal bagaimana jiwa kewirausahaan ditanamkan dan teknologi digital diasah selama mereka mengikuti pendidikan dan praktik lapangan,” ujar Nurdin.
Ia mengambil contoh, 14.000-an SMK mencetak lulusan sangat besar setiap tahun. Lulusan SMK tahun 2020/2021 tercatat 1,63 juta orang. Rinciannya, 702.517 orang dari SMK negeri dan 929.755 orang dari SMK swasta. Ironisnya, BPS mencatat pada Februari 2021, dari total 8,75 juta angka pengganguran, justru tamatan SMK yang paling banyak yaitu 11,45%, disusul lulusan SMA 8,55%, Universitas 6,97%, Diploma I/II/III 6,61%, dan SMP 5,87%.
“Ini ironis karena SMK memiliki ketrampilan khusus, namun tidak terserap oleh lapangan kerja. Harusnya, pendidikan dan pelatihan kewirausahaan diasah maksimal selama mereka sekolah dan praktik sehingga mampu menciptakan pekerjaan sendiri pasca-tamat. Apalagi, mereka memiliki ilmu dan ketrampilan di banyak sektor seperti pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan, dan industri manufaktur,” kata Nurdin.
Dekopin, jelas Nurdin, pernah merintis bersama Kemendikbud tahun 2016 agar anak-anak SMK yang duduk di kelas III membentuk koperasi. Potensi koperasi SMK ini besar karena setiap tahun akan ada ratusan tamatan yang memiliki ketrampilan memproduksi barang dan jasa. Faktanya, selama kelas II dan III, mereka sudah menjadi home industry yang memproduksi barang dan jasa di bawah bimbingan. Produk mereka pun sudah dibeli oleh perusahaan terkait.
“Kalau saja sejak kelas III, mereka sudah diorganisir dalam sistem dan manajemen koperasi, maka setelah tamat mereka bisa melanjutkan produksi dan menjual produk mereka oleh manajemen koperasi. Namun karena tidak punya wadah, potensi mereka menjadi wirausahawan pun pupus. Mereka lantas mencari kerja sebagai buruh di perusahaan atau pabrik. Tetapi karena jumlah lulusan SMK sangat banyak, maka banyak pula yang menganggur,” tutur Nurdin.
Kelima, mata pelajaran dan program studi kewirakoperasian
Lebih jauh, Nurdin Halid mendorong materi kewirausahaan dan kewirakoperasian menjadi mata pelajaran di sekolah menengah dan Program Studi pilihan di kampus-kampus Indonesia. Tujuan utamanya, menciptakan para wirakoperasi ‘berkualitas unggul, berjiwa entrepreneur’ secara struktural, sistematis, dan masif.’
“Memanfaatkan momentum kebijakan ‘Merdeka Belajar Kampus Merdeka’, saya selaku Ketua Umum Dekopin merasa terpanggil untuk memperjuangkan kewirausahaan dan kewirakoperasian menjadi salah satu mata pelajaran di SMP dan SMA serta Program Studi pilihan di kampus-kampus. Sebab, koperasi adalah sistem paling cocok dan terbaik untuk mewujutkan keadilan ekonomi, demokrasi, dan kesejahteraan sosial di Indonesia,” kata Nurdin.
Selain perintah Konstitusi, lanjut Nurdin, koperasi adalah jalan yang paling efektif dan efisien untuk menyatukan dan menggerakkan kekuatan ekonomi rakyat Indonesia yang mayoritas masih miskin dan rentan miskin, hidup menyebar di seluruh pelosok negeri, di pedalaman, di pulau-pulau kecil dan terpencil yang minim infrastruktur dasar maupun infrastruktur pendukung.
“Koperasi yang berasas kekeluargaan adalah ideologi ekonomi bangsa Indonesia. Selain sarat nilai keutamaan, koperasi sangat sesuai dengan semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ini harus dilestarikan dan dikembangkan sejak di sekolah dan dimatangkan di bangku kuliah dan praktik di koperasi-koperasi,” ujar Nurdin.
Dijelaskan, sejarah 54 tahun Indonesia hidup di era ekonomi kapitalis sejak awal Orde Baru tahun 1967 hingga hari ini membuktikan bahwa buah dari sistem kapitalisme sulit menetes ke tingkat rakyat di akar rumput yang hidup menyebar di seluruh pelosok negeri. Di sisi lain, minat masyarakat Indonesia untuk berkoperasi sangat tinggi. Masalahnya, koperasi dicitrakan sebagai lembaga ekonomi yang marginal, dikelola amatiran dengan skala usaha kecil-kecilan.
Menurut Nurdin Halid, gagasan mata pelajaran dan Prodi Kewirakoperasian adalah solusi struktural dan sistematis untuk melestarikan ideologi ekonomi bangsa sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Sesuai konsep besar Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Nurdin berharap ide Prodi Kewirakoperasian mendorong kampus-kampus berinovasi memakai sekaligus mengangkat koperasi ke level tinggi sebagai tempat riset dan praktik kerja mahasiswa selama 2-3 semester.
“Adalah fakta, jumlah koperasi berbadan hukum hari ini berjumlah 125 ribu lebih dengan anggota sekitar 26 juta orang. Ini sungguh ‘ladang’ yang sangat luas untuk riset dan praktik nyata bagi para mahasiswa selama 2 sampai 3 semester. Jika ini dilakukan oleh kampus-kampus, saya meyakini akan lahir jutaan wirakoperasi setiap tahun yang akan menjadi ujung tombak lahirnya koperasi-koperasi modern di masa depan,” pungkas Nurdin Halid.
Penulis: Yosef Tor Tulis
Sumber: Makalah Dr. (HC). Drs. Nurdin Halid